Wah ga terasa sudah lama tidak buat blog. Alasannya karena
saya punya channel Youtube sendiri yaitu MAS MAR MAIN GAME dimana saya banyak
meletakkan karya video saya di sana sehingga blog ini terbengkelai.
Pertanyaannya adalah kenapa kali ini kembali ke format Blog, bukan video?
Jawabannya adalah sering kali media tulis lebih enak digunakan untuk
menyampaikan pendapat dan uneg-uneg daripada video, terutama bagi saya yang
jarang berbicara di depan umum.
Sebenarnya pembahasan ini ada hubungannya dengan channel
Youtube saya. Konsep dasar Youtube saya adalah Youtube bermain game, terutama
game offline, meski pun akhirnya juga meliputi game online, review game, review
bebas, review mainan, hingga yang terbaru Review Level Design.
Saat channel tersebut masih baru, saya kepikiran untuk
menjadikan channel saya menjadi salah satu tempat untuk memainkan game-game
buatan Developer lokal Indonesia. Untuk itu saat Autumn Sale 2021, Saya membeli
3 game lokal yang sedang diskon. Tentu saja untuk bahan konten. Ketiga game itu
adalah Azure Saga, my Lovely Daughter, dan CoffeeTalk.
Tiba lah saya membuat konten untuk Azure Saga, sebuah JRPG
2D isometrik dengan Turn-based battle system. Saat mulai memainkan game ini, secara grafis, dan sound sudah menarik. Saya pun
membuat 2 video yang isinya kira-kira gameplay 1 jam pertama game Azure Saga,
dan promosi Studio Developer. Bisa
ditonton di sini dan sini
Setelah selesai mengupload 2 video tersebut, saya memang
merencanakan menamatkan Azure Saga, lalu membuat Review Game Azure Saga ya. Semua
Demi ikut serta mempromosikan Game buatan Indonesia, dan Developer lokal. Go Game
Indonesia. Go Indopride.
Tetapi, semua saya batalkan. Kenapa? Semua gara-gara sebuah
game JRPG berjudul Tales of the Abyss untuk Playstation 2. “Hah!! Game PS2 bisa
menghancurkan Indopride dalam diri saya?” Yup kalian tidak salah baca.
Waktu itu, sedang hype atas rilisnya Emulator PS2 di
perangkat Android bernama AetherSX2. Terkena Hype, saya pun menginstall
emulator tersebut di HP Android saya, dan mencari beberapa game PS 2 terutama
JRPG yang terkenal, salah satunya Tales of the Abyss.
Saat memainkan beberapa
menit Tales of Abyss, ada sesuatu sensasi yang menyenangkan yang menarik
saya untuk terus memainkan game itu. Sensasi itu adalah daya tarik cerita
pembuka yang dieksekusi dengan sangat baik, rapi, dan yang terpenting
menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita panasaran atas
kelanjutanya dan secara tidak sadar menarik kita untuk terus melanjutkan
memainkan Tales of The Abyss.
Sensasi itu tidak saya temukan saat memainkan Azure Saga.
Tidak ada sensasi dari cerita pembuka yang memancing rasa penasaran saya untuk melanjutkan
memainkan game ini hingga tamat. Semua terasa generik, dan nothing spesial. I’m
done with this game.
“Tapi kan daya tarik game tidak hanya cerita pembuka?
mungkin saja kamu kurang jauh mainnya.”
Yes, saya akui saya hanya main Azure Saga selama kurang
lebih 3 jam, dan selama itu saya sama sekali tidak menemukan sebuah motivasi
untuk menamatkan game ini, baik dari segi cerita, mau pun mekanik. Ekspetasi
saya saat memainkan JRPG adalah adanya daya tarik dari segi cerita, atau, mekanik
gameplay pada jam-jam awal. Jika salah satu saja terpenuhi, ada kemungkinan
saya melanjutkan game ini, atau at least ada rasa ingin melanjutkan main game
ini.
“Kalau gitu kenapa Lightning Return Final Fantasy XIII
yang ceritanya kureng aja bisa tamat, masa game lokal ga mampu”
Gini. Dari segi cerita Lightning Return FFXIII mendapat
keunggulan karena dia adalah sekuel yang akan menjadi konklusi dari FFXIII.
Banyak Fans yang menanti-nanti bagaimana kisah Lightning berakhir setelah semua
peristiwa yang terjadi di FFXIII, dan FFXIII-2, dan rasa penasaran itulah yang
membuat saya termotivasi menamatkan Lightning Return. Tentu saja termasuk fakta
bahwa saya menyukai tipe wanita seperti Lightning.
Tidak seperti Lightning Return yang ditopang oleh cerita
prekuelnya, Azure Saga adalah JRPG yang benar-benar baru, jadi dia harus bisa
menarik rasa penasaran sejak menit-menit awal. Baik dari segi cerita, mau pun
mekanik gameplay. Karena jujur dari sudut pandang saya, musik yang merdu mau
pun grafis yang indah itu ga terlalu efektif menarik perhatian saya. Game Pixel
pun selama memiliki daya tarik gameplay, mau pun cerita, tetap ada peluang
untuk saya mainkan lebih lama, ambil contoh adalah Stardew Valley. I’m
addicted with it.
“IndoPride hancur oleh Produk impor seperti Tales of The Abyss?”
Sebuah ironi bahwa game yang sudah berusia 17 tahun seperti
Tales of The Abyss, sebuah game JRPG impor, justru yang membukakan mata saya bahwa saya ini tidak hanya seorang
warga Indonesia, tetapi juga seorang gamer yang memiliki preferensi sendiri dalam memainkan game. Kalau suka ya
lanjut main, bahkan mungkin sampai tamat. Kalau tidak suka, ya sudah tinggal
aja, atau mungkin lain kali saja mainnya. Mending main game yang saya suka
dahulu, terserah orang bilang saya egois atau tidak nasionalis.
Memang kita sebagai Warga Indonesia perlu mendukung produk game lokal, apalagi para game Developer
lokal itu banyak yang kawan-kawan saya dari mantan kantor, mau pun Game jam,
akan tetapi, sebagai seorang gamer, saya harus jujur apakah game yang saya
mainkan itu layak saya mainkan bahkan hingga tamat atau tidak, tanpa
mempedulikan game itu buatan Indonesia, atau impor.
Kesadaran itu lah yang berusaha saya terapkan seterusnya, menilai
game lokal Indonesia dari sudut pandang saya sebagai gamer, yang jika ditelaah
lebih jauh, ini adalah bukti pengabdian dan kecintaan saya sebagai gamer
berwarga negara Indonesia terhadap perkembangan industri game lokal Indonesia.
Yaitu menempatkan standart penilaian game lokal, sejajar dengan game import,
tanpa embel-embel Indopride.
0 komentar:
Posting Komentar
Please do not spam and respect each other
Tolong jangan spam, dan saling menghormati