• image01

    Game

    Review

  • image02

    Game

    Making

  • image03

    Personal

    Opinion

  • image04

    Retro

    Gaming

  • image05

    Movie

    Talk

  • image06

    Wayang

    Stories

  • image07

    Pop

    Culture

9 Maret 2021

Apakah game jadul lebih baik dari game jaman now? Bagian 1 dari 3 tulisan

 

            Saya tergugah untuk membuat artikel ini setelah membaca sebuah opini di sebuah grup yang berpendapat bahwa game jadul lebih baik dari game jaman now karena beberapa faktor antara lain yang saya soroti adalah Perusahaan game jaman now lebih mementingkan kelangsungan Perusahaan, daripada berkreasi membuat hal baru. Kedua, soal Microtransaction yang menjamur di game-game jaman now.

               Saya tidak mengamini atau membantah opini tersebut. Toh semua punya hak untuk berpendapat dan mengungkapkan uneg-unegnya. Di sini saya hanya menuliskan opini masalah ini dari sudut pandang saya pribadi. Tentu saja pembaca berhak bereaksi apa pun soal pendapat saya ini.

               Pertama, Soal Perusahaan game lebih mementingkan Perusahaan daripada berkreasi mencoba hal baru. Saya tidak membantah hal ini karena faktanya beberapa Perusahaan yang lebih memilih mengikuti trend dan selera pasar, sehingga banyak game yang mekanisme gamenya mirip-mirip. Contoh yang gampang adalah game-game Mobile di Playstore, berapa banyak yang mirip2 dengan Candy Crash Saga, Flappy Bird, PUBG, dan, Mobile Legend. Tentu saja dengan beragam tambahan kreatifitas sang Developer sehingga terlihat berbeda, meski pun basic gameplaynya tetap terasa sama.

               Tidak hanya di level Mobile, di level AAA juga terjadi hal sama. Yang paling hot adalah tuduhan kemiripan Genshin Impact  buatan Mihoyo dengan mekanisme gameplay The Legend of Zelda: Birth of The wind buatan Nintendo yang ngetrend 3 tahun sebelumnya. Ditambah dengan munculnya Immortal Fenix keluaran Ubisoft yang juga kata temen saya mirip2 BOTW meski pun dengan tambahan mekanik dari Assassin Creed Oddysey.



               Sebenarnya ada masalah lain yaitu adanya trend “Milking” yaitu “memerah” habis-habisan sebuah franchises game dengan memberikan ragam DLC dan update yang menggoda user untuk mengeluarkan uang lebih, tanpa mengubah banyak feature dasar. Contoh paling gampang adalah GTA V yang sejak rilis tahun 2013 hingga sekarang masih terus diupdate dengan DLC baru oleh Rock Star.

               Contoh lain adalah Assassin Creed. Mungkin beberapa dari kita masih ingat bagaimana pada pertengahan 2010 an, Ubisoft terkesan memaksakan Frenchise Assassin Creed untuk keluar rilis game baru setiap tahun. Akibatnya jelas kualitas Assassin Creed sempat jatuh, terutama dengan ditemukan bug-bug yang jadi meme di dunia Maya. Untunglah kualitas Assassin Creed mulai bangkit sejak Assassin Creed Origin dimana Ubisoft bisa dibilang sudah tobat merilis game baru Assassin Creed tiap tahun.



               Sebenarnya yang membuat saya jengkel bukan milking terhadap GTA V atau Assassin Creed, tetapi milking terhadap Final Fantasy VII oleh Square Enix. Berbeda kasus dengan Assassin Creed, game dan produk kreatif seperti film dari hasil milking FFVII bisa dibilang masih memiliki kualitas yang bagus. Bahkan sebagai anak emas dari Square Enix, FFVII mendapat remake besar-besaran di konsol jaman now yang mendapat review bagus.  Rencananya kedepannya akan semakin banyak game yang mengambil settings dunia FFVII akan dirilis.



               Yang jadi masalah adalah Square Enix jadi kurang memperhatikan judul-judul Final Fantasy lama lainnya, dan memberikan perlakuan sekadarnya. Misal Final Fantasy VIII HD Remaster yang ternyata hanya  mengubah tampilan asset karakter menjadi lebih terlihat modern, tetapi background grafik masih seperti jaman PSX.  Tentu saja puncak kejengkelan saya adalah Square Enix seolah-olah menganaktirikan Final Fantasy VI, Final Fantasy favorit saya yang bersama Final Fantasy V “hanya’ mendapat remaster tampilan 2D, dan control untuk device mobile berbasis layar sentuh.

               Di balik uraian, dan curhat kejengkelan saya di atas, tentu timbul pertanyaan kenapa Perusahaan-perusahaan game terlihat lebih takut berkreasi dibandingkan dekade-dekade lalu.

Hal pertama yang perlu kita ketahui bahwa dalam industri kreatif seperti game, ada departemen bernama Research and development (R&D) yang bertugas berkreasi, dan mencari inovasi dalam produk yang akan kita buat. Tentu saja departemen juga harus menganalisa trend ke depan seperti apa, dan permintaan pasar ke depan seperti apa. Tentu saja itu tidak mudah dan perlu riset yang matang.

               Salah satu perusahaan Game yang sukses dengan R&D  nya adalah Nintendo. Kita bisa lihat inovasi Nintendo dalam produk-produknya, misal Nintendo DS yang memiliki 2 layar, sentuh dan non sentuh sehingga NDS terlihat lebih interaktif. Lalu juga Nintendo WII yang memiliki control berdasarkan gerakan tangan, lalu tentu saja yang terbaru adalah Nintendo Switch yang bisa jadi model portable mau pun konsol. Belum termasuk game-game buatan Nintendo yang sangat menyenangkan baik secara gameplay mau pun fitur

               Tetapi seperti kata saya sebelumnya, jika R&D perusahaan itu gagal membaca trend atau pasar, maka Perusahaan itu bakal mengalami kerugian, bahkan tidak jarang kebangkrutan. Hal itu juga terjadi pada Nintendo pada kegagalan WIIU yang bahkan sampai memotong gaji para eksekutifnya, demi kelangsungan perusahaan.



               Jadi berkreasi dalam industri game itu juga bisa diandaikan sebuah perjudian kelas kakap. Taruhannya ga cuman jatah makan siangmu hilang, tetapi juga nasib Perusahaan. Makanya beberapa Perusahaan lebih memilih bermain aman dengan ikut-ikutan trend, sambil mencari celah dan mengumpulkan modal untuk kembali berkreasi (baca=”berjudi”).

               Kedua, membuat game jaman now itu tidak memakan biaya yang murah, apalagi buat Perusahaan Game kelas AAA. Tentu saja semakin besar perusahaan maka biaya Produksi dan non produksi Perusahaan semakin tinggi, misal untuk gaji karyawan, biaya riset, biaya perijinan, biaya pemasaran dan lain lain.

               Ambil contoh, saya pernah menamatkan Assassin Creed 2, dan after credit yang memuat ratusan atau mungkin ribuan nama staff berputar selama kurang lebih 7 menit. Jika game itu diproduksi selama setahun, bayangkan biaya yang dikeluarkan Perusahaan Game untuk gaji karyawan saja. Itu belum termasuk biaya lainnya seperti yang saya sebutkan di atas.

               By the way, kesuksesan sebuah game bukan berarti Perusahaan bakal aman dari kebangkrutan. Kita ambil contoh Developer dari Prototype 2, dan Kingdom of Amalur yang meski pun game nya terhitung sukses, tetapi perusahaannya malah bubar.

Karena itu ikut-ikutan trend dan milking bisa jadi cara perusahaan game mendapat uang dengan lebih cepat, dengan biaya yang lebih minimal daripada berjudi membuat game yang benar-benar baru . “Easy Money” istilah gaulnya. Meski pun di mata gamer terlihat serakah, dan mata duitan, tapi selama ada yang minat dan ada yang mau beli. Why not?

               Ketiga, Hype di kalangan para gamer juga menjadi pertimbangan Perusahaan game untuk terus melakukan milking. Perusahaan Game tentu juga melakukan riset untuk menilai mana saja produk mereka yang sangat disukai para gamer, dan memiliki ruang untuk dieksplorasi dan diexploitasi kedepannya. Contoh nyata adalah Final Fantasy VII, Selain menjadi serial FF paling populer, game ini juga memiliki  penjualan paling tinggi dibandingkan serial FF lainnya. Selain itu, FFVII juga memiliki banyak ruang untuk jelajahi. Maka wajar kalau Square Enix mencari easy money dengan “milking” serial ini yang nantinya diwujudkan dalam beragam sequel, prekuel, bahkan yang terakhir adalah Remake total buat konsol jaman now



 Oh ya menurut kalian berapa lama permintaan untuk merombak total Final Fantasy VII sudah digaungkan oleh para gamer dan fans? Sudah sejak sekitar tahun 2005 saat Square Enix membuat opening Final Fantasy VII dengan engine yang dipakai untuk membuat film FFVII: Advent Children. Sejak itu muncul desas desus bahwa FFVII bakal dirombak total dengan tampilan yang modern, dan lagi “dikabulkan” 12 tahun kemudian saat pengumuman FFVII Remake pertama kali dikeluarkan SE.

               Untuk menutup artikel part 1 ini,  perlu disadari bahwa yang namanya Perusahaan pasti mencari cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dari berbagai sumber yang bisa diperah dari konsumen. Pun juga perusahaan game yang dituntut hal yang sama. Apalagi sekarang persaingan antar Perusahaan game semakin ketat, membuat Perusahaan game harus pintar-pintar mencari cara untuk mengeruk uang dari konsumen. Tentu saja cara-cara yang dipakai sering kali tidak populer bagi sebagian gamer seperti kita

               Demikian artikel ini. Mungkin part 1 ini terkesan membela Perusahaan Game, tetapi saya hanya ingin mencoba sedikit berbagi sudut pandang lain yang mungkin tidak populer. Jujur secara pribadi, dan sebagai gamer, saya juga kecewa dengan trend ikut-ikutan dan milking di Industri game. Part kedua nanti, saya akan mengajak untuk “marah-marah” dengan keberadaan microtransaction

0 komentar:

Posting Komentar

Please do not spam and respect each other
Tolong jangan spam, dan saling menghormati

Mengenai Saya

Foto saya
Saya seorang pekerja swasta di Bidang Teknologi Informasi terutama Game Industry. Saya menggunakan Blog sebagai penyaluran minat saya. Sekedar informasi, Foto Profil itu foto saat SMA medio 2005 an

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.