Saya tergugah untuk membuat artikel ini setelah membaca
sebuah opini di sebuah grup yang berpendapat bahwa game jadul lebih baik dari
game jaman now karena beberapa faktor antara lain yang saya soroti adalah
Perusahaan game jaman now lebih mementingkan kelangsungan Perusahaan, daripada
berkreasi membuat hal baru. Kedua, soal Microtransaction yang menjamur di
game-game jaman now.
Saya tidak
mengamini atau membantah opini tersebut. Toh semua punya hak untuk berpendapat
dan mengungkapkan uneg-unegnya. Di sini saya hanya menuliskan opini masalah ini
dari sudut pandang saya pribadi. Tentu saja pembaca berhak bereaksi apa pun
soal pendapat saya ini.
Pertama,
Soal Perusahaan game lebih mementingkan Perusahaan daripada berkreasi mencoba
hal baru. Saya tidak membantah hal ini karena faktanya beberapa Perusahaan yang
lebih memilih mengikuti trend dan selera pasar, sehingga banyak game yang
mekanisme gamenya mirip-mirip. Contoh yang gampang adalah game-game Mobile di
Playstore, berapa banyak yang mirip2 dengan Candy Crash Saga, Flappy Bird,
PUBG, dan, Mobile Legend. Tentu saja dengan beragam tambahan kreatifitas sang
Developer sehingga terlihat berbeda, meski pun basic gameplaynya tetap terasa
sama.
Tidak
hanya di level Mobile, di level AAA juga terjadi hal sama. Yang paling hot
adalah tuduhan kemiripan Genshin Impact buatan Mihoyo dengan mekanisme gameplay The
Legend of Zelda: Birth of The wind buatan Nintendo yang ngetrend 3 tahun
sebelumnya. Ditambah dengan munculnya Immortal Fenix keluaran Ubisoft yang juga
kata temen saya mirip2 BOTW meski pun dengan tambahan mekanik dari Assassin
Creed Oddysey.
Sebenarnya
ada masalah lain yaitu adanya trend “Milking” yaitu “memerah” habis-habisan
sebuah franchises game dengan memberikan ragam DLC dan update yang menggoda
user untuk mengeluarkan uang lebih, tanpa mengubah banyak feature dasar. Contoh
paling gampang adalah GTA V yang sejak rilis tahun 2013 hingga sekarang masih
terus diupdate dengan DLC baru oleh Rock Star.
Contoh
lain adalah Assassin Creed. Mungkin beberapa dari kita masih ingat bagaimana
pada pertengahan 2010 an, Ubisoft terkesan memaksakan Frenchise Assassin Creed
untuk keluar rilis game baru setiap tahun. Akibatnya jelas kualitas Assassin
Creed sempat jatuh, terutama dengan ditemukan bug-bug yang jadi meme di dunia
Maya. Untunglah kualitas Assassin Creed mulai bangkit sejak Assassin Creed
Origin dimana Ubisoft bisa dibilang sudah tobat merilis game baru Assassin
Creed tiap tahun.
Sebenarnya
yang membuat saya jengkel bukan milking terhadap GTA V atau Assassin Creed,
tetapi milking terhadap Final Fantasy VII oleh Square Enix. Berbeda kasus
dengan Assassin Creed, game dan produk kreatif seperti film dari hasil milking
FFVII bisa dibilang masih memiliki kualitas yang bagus. Bahkan sebagai anak
emas dari Square Enix, FFVII mendapat remake besar-besaran di konsol jaman now
yang mendapat review bagus. Rencananya
kedepannya akan semakin banyak game yang mengambil settings dunia FFVII akan
dirilis.
Yang
jadi masalah adalah Square Enix jadi kurang memperhatikan judul-judul Final
Fantasy lama lainnya, dan memberikan perlakuan sekadarnya. Misal Final Fantasy
VIII HD Remaster yang ternyata hanya
mengubah tampilan asset karakter menjadi lebih terlihat modern, tetapi
background grafik masih seperti jaman PSX.
Tentu saja puncak kejengkelan saya adalah Square Enix seolah-olah
menganaktirikan Final Fantasy VI, Final Fantasy favorit saya yang bersama Final
Fantasy V “hanya’ mendapat remaster tampilan 2D, dan control untuk device mobile
berbasis layar sentuh.
Di balik
uraian, dan curhat kejengkelan saya di atas, tentu timbul pertanyaan kenapa
Perusahaan-perusahaan game terlihat lebih takut berkreasi dibandingkan
dekade-dekade lalu.
Hal pertama yang perlu kita
ketahui bahwa dalam industri kreatif seperti game, ada departemen bernama
Research and development (R&D) yang bertugas berkreasi, dan mencari inovasi
dalam produk yang akan kita buat. Tentu saja departemen juga harus menganalisa
trend ke depan seperti apa, dan permintaan pasar ke depan seperti apa. Tentu saja
itu tidak mudah dan perlu riset yang matang.
Salah
satu perusahaan Game yang sukses dengan R&D
nya adalah Nintendo. Kita bisa lihat inovasi Nintendo dalam
produk-produknya, misal Nintendo DS yang memiliki 2 layar, sentuh dan non
sentuh sehingga NDS terlihat lebih interaktif. Lalu juga Nintendo WII yang
memiliki control berdasarkan gerakan tangan, lalu tentu saja yang terbaru
adalah Nintendo Switch yang bisa jadi model portable mau pun konsol. Belum
termasuk game-game buatan Nintendo yang sangat menyenangkan baik secara
gameplay mau pun fitur
Tetapi
seperti kata saya sebelumnya, jika R&D perusahaan itu gagal membaca trend
atau pasar, maka Perusahaan itu bakal mengalami kerugian, bahkan tidak jarang
kebangkrutan. Hal itu juga terjadi pada Nintendo pada kegagalan WIIU yang
bahkan sampai memotong gaji para eksekutifnya, demi kelangsungan perusahaan.
Jadi
berkreasi dalam industri game itu juga bisa diandaikan sebuah perjudian kelas
kakap. Taruhannya ga cuman jatah makan siangmu hilang, tetapi juga nasib Perusahaan.
Makanya beberapa Perusahaan lebih memilih bermain aman dengan ikut-ikutan
trend, sambil mencari celah dan mengumpulkan modal untuk kembali berkreasi
(baca=”berjudi”).
Kedua, membuat
game jaman now itu tidak memakan biaya yang murah, apalagi buat Perusahaan Game
kelas AAA. Tentu saja semakin besar perusahaan maka biaya Produksi dan non
produksi Perusahaan semakin tinggi, misal untuk gaji karyawan, biaya riset,
biaya perijinan, biaya pemasaran dan lain lain.
Ambil
contoh, saya pernah menamatkan Assassin Creed 2, dan after credit yang memuat
ratusan atau mungkin ribuan nama staff berputar selama kurang lebih 7 menit.
Jika game itu diproduksi selama setahun, bayangkan biaya yang dikeluarkan
Perusahaan Game untuk gaji karyawan saja. Itu belum termasuk biaya lainnya
seperti yang saya sebutkan di atas.
By the
way, kesuksesan sebuah game bukan berarti Perusahaan bakal aman dari
kebangkrutan. Kita ambil contoh Developer dari Prototype 2, dan Kingdom of
Amalur yang meski pun game nya terhitung sukses, tetapi perusahaannya malah
bubar.
Karena itu ikut-ikutan trend dan
milking bisa jadi cara perusahaan game mendapat uang dengan lebih cepat, dengan
biaya yang lebih minimal daripada berjudi membuat game yang benar-benar baru .
“Easy Money” istilah gaulnya. Meski pun di mata gamer terlihat serakah, dan
mata duitan, tapi selama ada yang minat dan ada yang mau beli. Why not?
Ketiga, Hype
di kalangan para gamer juga menjadi pertimbangan Perusahaan game untuk terus melakukan
milking. Perusahaan Game tentu juga melakukan riset untuk menilai mana saja produk
mereka yang sangat disukai para gamer, dan memiliki ruang untuk dieksplorasi dan
diexploitasi kedepannya. Contoh nyata adalah Final Fantasy VII, Selain menjadi
serial FF paling populer, game ini juga memiliki penjualan paling tinggi dibandingkan serial FF
lainnya. Selain itu, FFVII juga memiliki banyak ruang untuk jelajahi. Maka
wajar kalau Square Enix mencari easy money dengan “milking” serial ini yang
nantinya diwujudkan dalam beragam sequel, prekuel, bahkan yang terakhir adalah
Remake total buat konsol jaman now
Oh ya menurut kalian
berapa lama permintaan untuk merombak total Final Fantasy VII sudah digaungkan
oleh para gamer dan fans? Sudah sejak sekitar tahun 2005 saat Square Enix
membuat opening Final Fantasy VII dengan engine yang dipakai untuk membuat film
FFVII: Advent Children. Sejak itu muncul desas desus bahwa FFVII bakal dirombak
total dengan tampilan yang modern, dan lagi “dikabulkan” 12 tahun kemudian saat
pengumuman FFVII Remake pertama kali dikeluarkan SE.
Untuk
menutup artikel part 1 ini, perlu
disadari bahwa yang namanya Perusahaan pasti mencari cara untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya dari berbagai sumber yang bisa diperah dari konsumen.
Pun juga perusahaan game yang dituntut hal yang sama. Apalagi sekarang
persaingan antar Perusahaan game semakin ketat, membuat Perusahaan game harus
pintar-pintar mencari cara untuk mengeruk uang dari konsumen. Tentu saja
cara-cara yang dipakai sering kali tidak populer bagi sebagian gamer seperti
kita
Demikian
artikel ini. Mungkin part 1 ini terkesan membela Perusahaan Game, tetapi saya
hanya ingin mencoba sedikit berbagi sudut pandang lain yang mungkin tidak
populer. Jujur secara pribadi, dan sebagai gamer, saya juga kecewa dengan trend
ikut-ikutan dan milking di Industri game. Part kedua nanti, saya akan mengajak
untuk “marah-marah” dengan keberadaan microtransaction
0 komentar:
Posting Komentar
Please do not spam and respect each other
Tolong jangan spam, dan saling menghormati