Para penikmat manga dan anime pada
tahun 2000 an dan 2010 an pasti akan ingat dengan istilah “Big 3”. Istilah ini dipakai untuk 3 judul manga yang
sangat mendominasi baik secara kepopuleran mau pun secara komersial di seluruh
dunia. Ketiga manga tersebut adalah One Piece karya Eichiro Oda, Naruto
karya Masashi Kishimoto, dan Bleach karya Tite Kubo.
Saking populernya ketiga manga itu,
penulis yakin orang-orang yang awam dunia animanga setidaknya mengenal salah
satu dari ketiganya. Contoh yang paling jelas adalah Naruto yang sejak tahun
2002-an masih sering tayang di TV.
Penulis tidak akan membahas lebih
dalam soal “Big 3” ini. Sebaliknya,
penulis sebagai pembaca komik sejak tahun 90’an akan mengajak pembaca untuk
mengenang manga “Big 3 jaman Baheula”
Yup, penulis akan membahas soal Doraemon
karya Fujiko F Fujio, Dragon Ball karya Akira Toriyama,
dan Kungfu Boy karya Takeshi Maekawa.
Ketiga manga yang layak mendapat
predikat “Big 3 jaman baheula”, khususnya di Indonesia karena jasa ketiganya
dalam mempopulerkan manga di tengah persaingan komik era 90’an di Indonesia antara
komik Amerika, komik Eropa, dan Manga.
Ketiganya juga membuka jalan bagi manga-manga
lain yang pada akhirnya membuat Manga berhasil mendominasi peredaran komik di
Indonesia hingga sekarang.
Doraemon (Fujiko F. Fujio)
Siapa yang tidak tahu robot kucing (
baca: Luwak) biru ini? Robot yang datang dari abad 22 ini datang ke abad 20
untuk membantu Nobita, seorang anak kelas 5 SD yang akan jadi orang “gagal” di
masa depan.
Dengan kantong ajaib atau istilah
kerennya kantong 4 Dimensi, Doraemon akan mengeluarkan alat-alat canggih dari
abad 22 yang akan membantu Nobita dalam kesehariannya yang dipenuhi tekanan
khas anak kelas 5 SD yaitu nilai jelek, dimarahi orang tua, dan dibully teman
sepermainan.
Jika ditanya manga pertama yang
penulis sukai, maka penulis akan dengan mantab jiwa menjawab Doraemon. Kenapa?
Pertama, kehidupan Nobita sebagai
anak SD masih sangat related dengan kehidupan anak-anak tahun 90’an. Mulai dari
dimarahi orang tua karena nilai jelek, iri dengki dengan teman-teman yang punya
barang up to date atau berkelahi dengan teman. Bedanya, karena penulis tidak
punya Doraemon, semua masalah itu hanya bisa dihadapi dengan sabar, ikhlas,
rajin belajar, ikut les mata pelajaran, belajar menabung, dan cari teman yang
lebih kuat.
Kedua, Doraemon berhasil membawakan
cerita yang ringan, mudah diterima oleh segala kalangan dan imajinatif. Kita
bisa membayangkan bagaimana jadinya jika alat yang canggih dari masa depan
dipakai (dan disalahgunakan) oleh anak SD. Hasilnya tidak hanya kacau tetapi
juga konyol dan lucu.
Ketiga, Doraemon memiliki versi Doraemon
Petualangan yang memuat cerita yang lebih panjang dan lebih kompleks, tetapi
tetap khas Doraemon. Versi petualangan ini juga mengajak kita menelusuri berbagai macam kebudayaan di
dunia, berbagai peradaban yang tersembunyi, berbagai jaman, hingga berbagai
planet yang imajinatif.
Kesuksesan Doraemon di Indonesia tidak
hanya ditunjang oleh Manga saja, tetapi juga kepopuleran anime yang tayang di
salah satu TV swasta setiap hari minggu jam 8. Salah satu anime dengan
penayangan terlama di Indonesia, dan masih bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Doraemon sekarang sudah menjelma
menjadi pop culture yang mendunia. Penggemarnya mungkin tidak “berisik” di
dunia maya , dan tidak sebanyak fans animanga lainnya, tetapi senjata nostalgia
yang dibawanya tetap mampu menumbuhkan inner child di hati setiap penggemar
atau mantan penggemarnya yang beranjak tua.
Dragon Ball (Akira Toriyama)
Dragon Ball berkisah tentang
Petualangan Songoku dan Bulma dalam mencari 7 Bola Naga yang bisa mengabulkan
segala keinginan. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan teman baru, antara lain Ur Long, babi mata
keranjang yang bisa menyamar jadi apa saja, dan Yamcha yang takut wanita.
Selain itu, mereka harus bersaing dengan Pilaf dan gengnya yang juga mengincar
Dragon Ball.
Dragon Ball yang sebenarnya
terinspirasi dari kisah Perjalanan ke Barat ini juga memperoleh kepopuleran
yang besar di Indonesia pada era 90’an. Semua itu ditunjang oleh petualangan
yang asyik yang dipenuhi dengan adegan pertarungan yang seru, dan terkadang
konyol.
Selama peredaran manganya pada tahun
90 an , Dragon Ball terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Dragon Ball, dan sekuelnya
langsung Dragon Ball Z. Keduanya dipisahkan oleh Time skip yaitu setelah
pertarungan Songoku melawan Pikkoro, dan kedatangan Raditz, bangsa Saiya yang
mencari adiknya Kakarot.
Berbeda dengan Dragon Ball yang
penuh petualangan menjelajahi tempat-tempat misterius di bumi, Dragon Ball Z
melebarkan sayap menjadi petualangan antar planet, dengan pertarungan yang
lebih intens yang memiliki skala kerusakan tingkat planet. Momen ikonik dalam
Dragon Ball Z tentu saja saat Songoku menjadi Super Saiya saat bertarung dengan
Freeza di planet Namec yang akan hancur.
“Father of Shonen manga”, itu
lah julukan yang diberikan para fans Animanga kepada Dragon Ball. Alasan yang
masuk akal mengingat pengaruh Dragon Ball yang besar bagi perkembangan manga
shonen, termasuk terhadap para mangaka yang nantinya menciptakan “Big 3” di
kemudian hari.
Kerennya, manga Dragon Ball populer
di Indonesia pada tahun 90’an tanpa sokongan dari Animenya yang baru tayang di
sekitar 1996 di stasiun TV ikan terbang. Selain dari strategi pemasaran yang
baik dari pihak Elex dan promosi lewat majalah media cetak, jangan lupakan
bagaimana hebatnya peredaran dari mulut ke mulut di tahun segitu.
Sama seperti Doraemon, Dragon Ball
pun juga sudah menjadi pop Culture yang mendunia. Pada 2015, anime Dragon Ball
Super yang merupakan kelanjutan cerita Dragon Ball Z tayang dan sedikit banyak
kembali membangkitkan hype terhadap franchise ini. Dilanjutkan dengan berbagai
movie dan versi manga Dragon Ball Super dimana Akira Toriyama bertindak sebagi
penulis dan digambar oleh Toyotaro. Kabar terakhir pada tahun 2024 akan rilis
versi anime terbaru berjudul Dragon Ball DAIMA. Sepertinya Songoku menolak
menua
Kungfu Boy (Takeshi Maekawa)
Kungfu Boy bercerita tentang Chinmi
yang berguru di Kuil Dairin. Setelah menguasai Kungfu Peremuk Tulang, Chinmi
berpetualang ke berbagai wilayah China, bahkan akhirnya ikut kejuaraan bela
diri di hadapan Kaisar.
Sebagai manga yang berfokus pada
Martial Art, Kungfu Boy berhasil menyajikan scene-scene pertarungan yang intens
dengan detail gerakan yang memukau. Penulis masih ingat bagaimana Chinmi dan
Shifan harus berhadapan dengan Serigala, atau bagaimana Chinmi harus
mati-matian dan babak belur menghadapi petinju dari Amerika Serikat.
Sebenarnya pada tahun 90 an banyak
komik Martial Art yang beredar, terutama komik-komik dari China seperti Tiger
Wong, dan Tapak Buddha. Hebatnya, Kungfu Boy berhasil bertahan dalam persaingan
bahkan meraih kepopuleran diantara anak-anak 90 an.
Caranya pun tidak berbeda dengan
Dragon Ball, lewat promosi majalah dan penyebaran dari mulut ke mulut diantara
anak tahun 90 an. Kerennya, Kungfu Boy hanya disokong oleh 20 episode anime
yang bahkan tidak pernah diperbaharui sampai sekarang
Berbeda dengan Doraemon dan Dragon
Ball tidak hanya masih populer dan menjadi Pop culture yang memiliki basis fans
kuat. Kungfu Boy saat ini harus terus berjuang di tengah-tengah banyaknya manga
martial art dan shonen. Apakah berarti Kungfu Boy menjadi jelek?
Penulis pernah membaca manga new
Kungfu Boy yang merupakan kelanjutan Kungfu boy. Sebenarnya manga ini tetap
seru dengan pengembangan cerita yang semakin luas dan kompleks dengan
melibatkan skandal skala kerajaan.
Dugaan
penulis, Kungfu Boy kesulitan menemukan penggemar generasi baru yang lebih menyukai komik-komik Martial Art terkini.
Ditambah lagi tidak ada dukungan dari media lain seperti remake anime.
Demikianlah pembahasan kenangan
tentang manga “Big 3 jaman Baheula” di Indonesia. Penulis mungkin melewatkan
manga lain yang populer pada masa awal 90’an. Mungkin pembaca bisa
melengkapinya dengan membuat artikel opini sejenis.
0 komentar:
Posting Komentar
Please do not spam and respect each other
Tolong jangan spam, dan saling menghormati