Alkisah di sebuah desa yang damai
tiba-tiba diserbu oleh bala tentara raksasa pimpinan raja Tegopati. Para
raksasa itu mengobrak-ngabrik desa merampok dan memangsa penduduk desa.
Penduduk desa pun lari tunggang-langgang mencari keselamatan. Mereka pun
meminta pertolongan kepada seorang ksatria bernama Raden Bandung.
Gambar 1
Raksasa
Raden
Bandung, dan pasukannya pun menyerang para raksasa. Saat berhadapan dengan raja
Tegopati, Raden Bandung kalah oleh kesaktian raja raksasa itu dan terpaksa
mundur. Raden Bandung pun meminta petunjuk dewata untuk mengalahkan Tegopati
dan pasukannya. Dewata pun memberi petunjuk agar Raden Bandung bertapa selama
sewindu di tepi telaga.
Dalam
pertapaannya, Raden Bandung mendapat nasihat tentang kehidupan dari Dewa Ruci.
Sang Dewa Ruci juga bertitah, “Sangir lah kukumu. Itu adalah
satu-satunya cara mengalahkan Tegopati.” Raden Bandung pun segera mengasah kuku
tangannya sesuai perintah Sang Dewa Ruci.
Setelah
kembali dari pertapaan, Raden Bandung segera menghimpun pasukan untuk menyerang
balik para raksasa. Alangkah terkejutnya dia saat tahu kalau Tegopati dan
pasukan raksasa telah mendirikan kerajaan bernama Glagahombo. Raden Bandung pun
segera menyerang para raksasa.
Sekali
lagi Raden Bandung bertarung melawan Tegopati dan kali ini Raden Bandung
berhasil menewaskan Tegopati dengan kukunya. Kehilangan rajanya, para raksasa
pun lari tunggang-langgang. Pasukan Raden Bandung pun mengejar mereka dan tak
memberi ampun. Banyak raksasa yang tewas, dan mayatnya bergelimpangan di tanah
maupun mengapung di sungai.
Untuk
mengenang keberanian Raden Bandung yang mengembalikan kedamaian desa tersebut,
daerah tempat pertempuran itu sekarang dinamai Sangiran. Di tempat itu lah
hingga sekarang sering sekali ditemukan sisa tulang-tulang raksasa pasukan
Tegopati yang oleh penduduk setempat dinamai “Balung Buto”
Sekilas Sangiran
Mitos
tentang “Balung Buto” tersebut berkembang diantara penduduk sekitaran
Sangiran yang kini terletak di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Mungkin mitos ini
untuk menjawab fenomena yang terjadi di sekitar daerah mereka dimana sering
kali mereka menemukan tulang belulang yang berukuran raksasa. Tentu saja
penduduk sekitaran Sangiran pada jaman dulu tidak mengetahui bahwa
tulang-tulang tersebut adalah fosil-fosil makhluk purba yang mendiami Sangiran
jutaan tahun lalu.
“Balung
Buto” adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa Balung yang
artinya tulang, dan Buto yang artinya raksasa. Penduduk Sangiran dulu
percaya bahwa tulang-tulang ini berkhasiat untuk obat-obatan dan sebagai jimat
kekebalan.
Misteri
“Balung Buto” mulai terungkap saat seorang ahli Paleontolog dan Geolog, Dr
Gustav Heinrich Raph von Koenigswald melakukan penggalian di sekitar
Sangiran dengan bantuan penduduk sekitar pada tahun 1930 an. Dia berhasil
mengumpulkan fosil tulang-tulang Hominin purba yang berasal dari jutaan tahun
lalu.
Salah satunya
adalah fosil Meganthropus paleojavanicus yang ditemukan Dr G.H.R von
Koenigswald pada 1941. Nama ini diambil dari kata Mega yang artinya
besar, Anthropus yang artinya manusia, paleo yang artinya tua/
purba dan Javanicus yang artinya dari Jawa. Sehingga bisa diartikan
sebagai manusia purba raksasa dari Jawa.
Gambar 2
Meganthropus paleojavanicus
Kemungkinan fosil
yang diperkirakan berasal masa sekitar 2 juta tahun lalu ini yang dianggap
sebagai raksasa oleh penduduk Sangiran jaman dulu. Itu wajar karena manusia
purba ini memang berperawakan tegap
dengan tinggi sekitar 250 cm dan bentuk tengkorak mirip kera. Lucunya, manusia
purba ini diperkirakan adalah pemakan tumbuh-tumbuhan, bukan pemangsa manusia
layaknya konotasi para raksasa.
Selain fosil manusia, di Sangiran juga ditemukan
beragam fosil binatang purba seperti buaya, kuda nil, rusa, dan gajah purba.
Kekayaan arkeologi yang terkandung di tanah Sangiran membuat UNESCO
mengganjarnya sebagai salah satu Situs Warisan Dunia pada 1996. Setelah
merenovasi museum yang lama, pada 15 Desember 2011 pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membuka
Museum Purbakala Sangiran.
Hilangnya kerabat manusia
Penemuan-penemuan
arkeologi di Sangiran memang akhirnya menjelaskan mitos “Balung Buto”
yang dipercaya warga sekitar Sangiran sebagai tulang-tulang raksasa pasukan
raja Tegopati. Akan tetapi, penemuan arkeologi ini belum mampu mengungkap
misteri besar umat manusia yaitu kenapa manusia “sendirian” di Bumi ini? Apa
yang terjadi pada kerabat kita yang lain?
Dalam istilah
ilmiah, manusia modern disebut dengan Homo sapiens. Gabungan dari Genus Homo
yang artinya manusia dan spesies sapiens yang artinya bijak. Saat
ini manusia modern adalah satu-satunya spesies dari Genus Homo yang tersisa.
Kerabat manusia yang lain misalkan Homo erectus, Homo Floresiensis, dan Homo
neanderthalensis telah punah puluhan ribu tahun lalu.
Gambar 3
Homo neanderthalensis
Punahnya
kerabat manusia ini masih menjadi misteri. Banyak dugaan-dugaan mengemuka mulai
dari wabah penyakit, bencana alam, hingga seleksi alam. Atau mungkin kombinasi
dari ketiganya
Sebagai contoh,
Homo floresiensis adalah spesies manusia berukuran kerdil yang hidup
antara 94.000 -13.000 tahun yang lalu berdasarkan penemuan fosil di Liang Bua,
Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena ukurannya yang kerdil dan berat badannya
yang sekitar 30 kg, kerabat manusia ini disebut “Hobbit” yang diambil
dari salah satu ras berukuran kerdil dari karya novelis terkenal J.R.R.
Tolkien. Diduga Hobbit ini hidup dengan bercocok tanam dan berburu aneka fauna
di pulau Flores seperti gajah kerdil.
Berdasarkan
penemuan fosil dari sekitar 50.000 tahun lalu. Salah satu dugaan penyebab
punahnya Hobbit ini adalah letusan gunung berapi dahsyat yang terjadi secara beruntun selama ribuan tahun yang
merusak ekosistem pulau Flores sehingga hewan-hewan buruan para Hobbit semakin
berkurang yang semakin lama mempengaruhi populasi Hobbit.
Contoh lain,
pernah ada masa dimana manusia modern hidup berdampingan dengan kerabatnya Homo
neanderthalensis. Perawakan manusia Neandherthal tegap, sedikit lebih
pendek dari manusia modern, memiliki massa tulang, dan otot yang lebih besar
dari manusia modern. Volume otak mereka pun lebih besar dari manusia modern.
Kerabat manusia ini hidup dengan berburu
aneka fauna seperti rusa, banteng, dan Mammoth.
Gambar 4
wajah manusia Neandertal
Saat suhu bumi
turun, dan jaman es tiba, ekosistem global berubah dan hewan-hewan buruan mulai
berkurang. Ini menyebabkan manusia Neandherthal harus bersaing dengan manusia
modern. Patut diingat meski pun volume otak manusia Neandherthal lebih besar
dari manusia modern tetapi, otak manusia modern lebih bisa menyelesaikan
masalah yang lebih kompleks, lebih bisa melakukan analisis, dan berstrategi, sehingga manusia modern semakin
lama mendesak populasi manusia Neandherthal.
Ada juga dugaan
bahwa penyebaran manusia modern lah yang mendesak kerabat-kerabat manusia
menuju kepunahan berkat kemampuan manusia modern dalam beradaptasi, kemampuan
berkomunikasi, berkoodinasi dan
menciptakan alat-alat yang lebih efisien. Besar kemungkinan juga perebutan
buruan dan wilayah antara manusia modern dengan kerabat manusianya berakhir
dengan perang antar spesies yang memusnahkan kerabat-kerabat manusia dan
membuat manusia modern menjadi pemenangnya.
Jika dugaan
perang spesies ini salah satu penyebab hilangnya kerabat manusia, maka secara
tidak sengaja pembuat mitos “Balung Buto” di Sangiran justru sedang
merekaulang sebuah tragedi yang terjadian puluhan ribu tahun lalu yang
menyebabkan manusia “sendirian” mendominasi bumi sekarang.